English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Tips cara membuat text berkedip

Label:

Teman-teman bagaimana cara membuat text berkedip di posting blog untuk membuat tek berkedip

pertama-tama kamu login dulu akun blogspot selanjutnya masuk ke poting coba kamu tulis scrip tutorial cara membuat tek berkedip

kopi aja sintag di bawah ini
tek berkedip
selanjutnya ganti tek berkedip yang berwarna merah
coba klik pratinjau untuk meliat hasilnya ya pasti berkedip.

silahkan mencoba

GAMBARAN UMUM PERDA DI INDONESIA SAAT INI

Label:

Gambaran Umum Perda Pada Saat Ini : Saat ini, salah satu persoalan yang perlu mendapatkan perhatian adalah banyak sekali Perda yang bermasalah. Sejak otonomi daerah digulirkan, ribuan perda dibuat oleh pemerintah daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Untuk hal ini, Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di daerah. Data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2009 Perda yang telah dibatalkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) mencapai 1.064 Perda. Pembatalan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut adalah sebagai tindak lanjut dari evaluasi pemerintah terhadap 7.500 perda yang telah disahkan pemerintah daerah (pemda) sejak 2002 hingga 2009. (lebih lanjut tentang ini lihat www.depdagri.go.id)

Dari segi teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Perda Provinsi pada 31 provinsi (1500 Perda) dan Perda kabupaten/Kota pada 50 Kabupaten/Kota (2500 Perda) yang ditetapkan pada tahun 2004 dan tahun 2005 diperoleh data bahwa sebagian besar Peraturan Daerah dalam penyusunannya belum mengikuti teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Lampiran Undang-undang Nonor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan perundang-undangan.

Apa yang harus dibenahi?
Perda adalah produk politik yang dibuat dan dirancang oleh dua body politik, Pemerintah Daerah dan DPRD serta memiliki rujukan normatif dari UUD 1945 dan UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah. Karena hal tersebut, maka perlu ditinjau ulang tentang penempatan perda di urutan ‘terbawah’ hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Terkait dengan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan satu hal yang juga perlu dicatat/digarisbawahi adalah masih dimasukkannya UUD 1945 dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan padahal dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah UUD 1945 menjadi dasar pembentukannya sendiri? Jika jawabannya tidak maka UUD 1945 seyogyanya tidak dimasukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Selain Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Pasal 145 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah yang memberi kewenangan pemerintah pusat guna membatalkan perda yang dipandang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi juga perlu ditinjau ulang. Hal ini karena penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom diselenggarakan atas dasar delegation of authority, termasuk kewenangan legislasi dari pemerintah daerah. Artinya adalah ketika terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan dimaksud, semua beralih kepada penerima delegasi. Prinsip pemberian delegasi berbeda dengan pelimpahan wewenang atas dasar mandatum, seperti halnya dekonsentrasi dimana mandataris bertindak untuk dan atas nama Kementerian Hukum dan HAM RI sebagai lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum, mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memperbaiki keadaan ini. Khusus dalam menyikapi persoalan yang berkaitan dengan Perda, kementerian Hukum dan HAM seharusnya mampu mendampingi dan menjadi mitra Pemerintah Daerah maupun DPRD dalam keseluruhan proses pembentukan Peraturan daerah melalui kantor Wilayah yang tersebar di setiap Provinsi. Sayangnya hingga saat ini peran kantor Wilayah masih belum begitu maksimal (atau) dimaksimalkan. Berkaca dari apa yang sudah disampikan diatas, maka masalah yang urjen untuk dibenahi segera adalah program pemberdayaan Kanwil sebagai mitra kerja Pemda/DPRD guna mencapai tujuan pembentukan Perda yang baik.

Pengertian Otonomi Daerah

Label:

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.


Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (”Eenheidstaat”), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:

Catatan:
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Memasukkan File PDF ke dalam Posting

Label:


Mungkin anda pernah terpikir untuk share dokumen dalam format pdf ke dalam blog, tetapi kesulitan bagaimana caranya. Dengan adanya artikel yang zona klik publish ini mudah-mudahan bisa bermanfaat dan bisa memecahkan permasalahan anda dan sekarang anda bebas untuk share dokumen apapun kedalam blog seberapa banyak yang anda inginkan.

Dalam hal ini kita harus meminta bantuan orang ketiga yaitu layanan yang menyediakan fasilitas untuk menampilkan file pdf dalam format flash yang nantinya akan di masukkan kedalam blog. Caranya yaitu pertama anda haruslah melakukan registrasi (pendaftaran) di http://www.scribd.com (free) dan ikuti langkah selanjutnya hingga proses registrasi selesai. Setelah proes registrasi selesai, silahkan login ke acount scribd anda. Klik upload untuk mengambil file di hardisk komputer anda untuk di share ke dalam blog - tunggulah proses upload file selesai. 

Setelah proses upload dokumen di scribd selesai, selanjutnya klik judul file yang telah di upload  maka anda akan di bawa ke halaman / page file yang telah di upload sebelumnya. Klik menu Share/Embed untuk mengambil kode yang akan dimasukkan ke dalam posting blog. Masukkan kode tersebut ke halaman posting anda dan lihat hasilnya, maka file yang telah anda upload pada scribd sebelumnya telah tampil di posting blog. 
 
 
 
SELAMAT MENCOBA
 
sumber : http://zona-klik.blogspot.com

Cara Menghapus Blog Yang Tidak Penting

Label:

Berikut cara menghapus blog adalah sebagai berikut :
perhatikan gambar berikut:

1. Buka blog yang mau dihapus
2. Klik Sign In
3. Klik yang di tengah yaitu tab Pengaturan
4. Klik Dasar
5. Alat Blog ----> ada tulisan : Import Blog-Eksport Blog-Hapus Blog
6. Klik Hapus Blog
7. Selesai
 
Upps hati2 salah hapus!

Membuat Fasilitas Print di Artikel Postingan

Label:

Sering kita ketemu dengan Ikon Printer dengan perintah atau petunjuk Print Halaman ini dsb. Mau juga buat di Blog kamu????
Berikut cara membuatnya :
Dibawah ini script fasilitas print, silahkan ganti alamat icon(teks yang berwarna merah) dengan alamat milik temen - temen, sedangkan teks yang berwarna biru adalah teks yang akan muncul disamping icon print(bisa diganti).
http://i396.photobucket.com/albums/pp48/putro16/iconprint.png" alt="print this page" border="0"/> Print halaman ini
Copy script'a,, lalu km Paste.
Terserah,, Paste scriptnya dmn aja bisa.

Semalam Mencoba Semoga Bermanfaat

Membuat Judul Blog Bergerak

Label:

Assalamu'laikum Wr Wb,

Sobat, Kamu pasti pengen buat Judul Blog kamu berjalan teksnya di atas. kalau emang mau ikiti ne

Caranya :



1. Login ke Blogger

2. Klik menu Layout

3. Edit/HTML

4. Lalu cari kode script dibawah ini:






<data:blog.pageTitle/>

<data:blog.pageTitle/>

kalau sudah ketemu,, kamu cek dulu, ada kode script seperti ini juga tidak









dibawah kode script ini




<data:blog.pageTitle/>



<data:blog.pageTitle/>

kalau ada,, kode script yang ini







kamu hapus juga,, terus Ganti kode script diatas dengan Kode script dibawah ini :





5. Simpan aja lansung.





PENTING Untuk di Perhatikan:

Yang perlu diedit adalah "Tulis Teks Kamu Disini" kamu bisa ganti dengan teks sesuka hatimu tapi jangan lupa dihapu s dulu k'lo g' pengen ganti maka scr otomatis judul blog kamu yang asli yang akan bergerak



Nilai angka100 ini menunjukkan kecepatan pergerakan kamu juga bisa menggantinya terserah mau berapa semakin tinggi angkanya semakin lambat geraknya.mau lebih cepat rendahkan nilainya misal 50.






Selamat Mencoba

Cara Membuat Agar Blog Kita Tidak Bisa di Block / Copy Paste

Label:

Cara seperti ini kalau memang semua isi blog anda tidak ingin karya anda di CoPas orang lain,.
Silahkan ikuti langkah-langkahnya :

1. Masuk ke Dasbor
2. Klik tab Tata Letak
3. Klik tab Edit HTML
4. Beri tanda centang pada kotak kecil Expand Template Widget
5. Silahkan cari di dalam template anda kode
6. Kalau sudah ketemu, anda Copy Pastekan script yang ada dibawah ini "Persis setelah kode ".


7. Klik Simpan Template
8. Selesai Lihat blog anda kembali

Membuat label Berjalan ( Marquee ) di Atas Footer

Label:

Langsung saja cara membuatnya :
1. Login to Blogger kemudian pilih "Layout"
2. Klik pada "Page Element" trus pilih "Add a Gadget --> Pilih Label" (Tempatnya terserah kamu).
3. Kemudian Pilih --> Tata Letak --> Edit Html.
4. Cari kode ]]> dan paste Css di bawah ini diatas kode ]]>.


#Label-marquee {
float: left;
width: 100%;
heiht:25px;
font: Arial;
color: #000000;
background: #282522;
border: 1px solid #cccccc;
}


5. Kemudian cari

Cara Memasang Video You Tube di Blog

Kita pasti kenal situs pencari video YouTube.com. Tapi, bagaimana caranya supaya bisa memasangnya di blog? Caranya cukup sederhana dan mudah bagi kita. Caranya sebagai berikut :
  1. Kunjungi situs YouTube.com.
  2. Cari video dengan kata kunci yang anda inginkan.





   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   

   
Kode warna yang terpilih :

    Get it

Pengertian Budaya Organisasi

Label:

1. Perspektif Budaya Organisasi

DEWASA ini istilah budaya tidak hanya jadi trend dan mempesonakan, tetapi juga dipandang membantu kebanyakan orang dalam membuat perbandingan antara aspek-aspek simbolik suatu budaya dan aspek-aspek simbolik sebuah organisasi. Menurut Suryadi (2003:109) munculnya perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi (organizational culture) tampaknya dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa para ahli terhadap teori-teori rasional (objektif) dalam meramalkan perilaku. Teori-teori tersebut dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi tetapi tidak menyinggung jiwa organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap teori-teori rasional tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep budaya. Namun demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi objectivistic, positivistic, dan functionalistic dalam teori organisasi dan manajemen. Kehadirannya semata-mata sebagai pelengkap (salah satu variabel) dalam rangka memprediksi dan pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada selama ini.

Pace dan Faules, (1994:91) menjelaskan, dalam diskursus teori-teori ilmu sosial, fenomena budaya dapat ditelaah dalam perspektif objektif maupun subjektif. Asumsi sederhananya adalah bahwa manusia mengalami keberadaan objek-objek yang bersifat fisik yang membentuk realitas, namun diyakini juga bahwa manusia menciptakan pengalaman yang dimilikinya bersama orang lain dan objek-objek. Jika ditelaah dalam perspektif objektif, kebudayaan sebagai realitas sosial dipandang sebagai suatu komponen dari sistem sosial, dimana kedua-duanya terintegrasi ke dalam suatu sistem “sosio-budaya” . Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang bersifat fisik dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna, lambang dan nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan peristiwa dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang disamping yang bersifat instrumental.

Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Alvesson dan Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan dalam studi dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks penelitian pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan menjadi penting. Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana budaya organisasi didefinisikan.

Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang budaya organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3) perspektif kognitif. Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel penekanannya pada pengekpresian budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi budaya adalah konstruksi bersama mengenai realitas sosial.

Menurut Suryadi (2003:112), ada tiga implikasi penting yang dapat ditangkap dari pendekatan budaya terhadap teori-teori organisasi dan manajemen. Pertama, munculnya paradigma baru dalam memandang fungsi-fungsi manajemen, khususnya yang berkaitan dengan fungsi kepemimpinan (manajer). Dimana, kepemimpinan harus dipahami sebagai orang yang mendefinisikan makna dan menciptakan pandangan tentang realitas organisasi melalui pengikutsertaan anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut pada kegiatan organisasi. Karena itu, seyogianya pemimpin yang baik itu tidak hanya menciptakan profit bagi organisasi, tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota organisasi. Sayang sekali para manajer sering lupa untuk menggandengkan kedua-duanya dalam porsi yang seimbang. Kedua, berkaitan dengan pertanyaan heuristik mengenai apa yang dapat dipelajari tentang organisasi melalui pendekatan budaya yang luput dari perhatian teori-teori tradisional (objektif) tentang organisasi dan manajemen. Ketiga berkaitan dengan pertanyaan pragmatis tentang fungsi budaya yang diperkirakan dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan organisasi. Karena itu, sejauhmana nilai guna dan sumbangan pendekatan budaya dalam memahami kehidupan organisasi masih perlu diuji secara empirik. Kenyataannya di Indonesia pada umumnya menunjukkan bahwa berbagai perubahan untuk menciptakan strategi bisnis baru sesuai dengan tuntutan perubahan, apabila sudah menyentuh dimensi sistem nilai, asumsi dasar, kepercayaan, dan konsepsi, seringkali sistem nilai, asumsi, kepercayaan, dan konsepsi lama masih dominan.

2. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2001:525), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Deal dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (2001:479) menjelaskan budaya organisasi sebagai nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.

Gibson et.al. (1996:77) merumuskan: “kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku”. Kreitner dan Kinicki (2003:68-75) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota. Luthans (1998:213) mengemukakan, budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sharplin (1995:225) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Stoner et.al (1996:246) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Davis (1984:198) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Schein (1992:221) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut. Menurut Noe dan Mondy (1993:235), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun konsep budaya organisasi memunculkan perspektif yang beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli budaya dalam hal mendefinisikan budaya organisasi. Intinya bahwa budaya organisasi berkaitan dengan sistem makna bersama yang diyakini oleh anggota organisasi (refers to a system of shared meaning held by members).

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik. Susanto (1997:17) mengemukakan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu (1) Inisiatif individu. Yaitu seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan dan independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil keputusan. (2) Toleransi terhadap resiko. Menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif dan mau menghadapi resiko dalam pekerjaannya. (3) Pengarahan. Berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam menentukan objek dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan waktu. (4) Integrasi, yaitu seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan koordinasi yang baik. (5) Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya. (6) Pengawasan, meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan. (7) Identitas, menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh dan seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi. (8) Sistem penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian “reward” (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan yang telah ditentukan. (9) Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauhmana usaha untuk mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi. (10) Pola komunikasi, yang terbatas pada hierarki formal dari setiap perusahaan.

Luthans (1998:223) mengidentifikasi ada enam karakteristik penting. Pertama, observed behavioral regularities, yaitu apabila para partisipan organisasi saling berinteraksi satu dengan yang lain, maka mereka akan menggunakan bahasa, terminologi dan ritual-ritual yang sama yang berhubungan dengan rasa hormat dan cara bertindak. Kedua, norms, yaitu standar-standar perilaku yang ada, mencakup pedoman tentang berapa banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan dan perbuatan-perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ketiga, dominant values, yaitu ada sejumlah values utama yang organisasi anjurkan dan mengharapkan kepada para anggota organisasi untuk menyumbangkannya, misalnya kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Keempat, philosophy, yaitu ada sejumlah kebijakan yang menyatakan keyakinan organisasi tentang bagaimana para karyawan dan atau para pelanggan diperlakukan. Kelima, rules, yaitu ada sejumlah pedoman yang pasti yang berhubungan dengan kemajuan atau cara berhubungan dengan kemajuan atau cara berhubungan yang baik dalam organisasi. Para karyawan baru (newcomers) harus mempelajari “ikatan” atau rules yang telah ada sehingga mereka dapat diterima sebagai full-fled get anggota kelompok. Keenam, organizational climate, yaitu ada suatu “feeling” yang menyeluruh yang dibawa oleh physical layout, cara para anggota organisasi berinteraksi, dan cara para anggota organisasi memperlakukan dirinya menghadapi pihak pelanggan dan pihak luar lainnya. Menurut Luthans, keenam karakteristik tersebut tidak dimaksudkan menjadi all-inclusive.

Hofstede (1991:143) menyatakan bahwa budaya organisasi secara mendasar memiliki sifat-sifat berikut: (1) holistic (menyeluruh dan menjangkau dimensi waktu yang panjang), (2) historically determined (ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan), (3) berhubungan dengan sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, (4) dihasilkan dan dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang bersama-sama membentuk organisasi (socially constructed), (5) halus (soft) dan (6) sukar berubah.

Riset paling mutakhir dari Robbins (2001:510-511) mengemukakan ada tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi apapun bentuk organisasinya. Ketujuh karakteristik tersebut, yaitu :

(1) Innovation and risk taking. The degree to which employees are encouraged to be innovative and take risk. (2) Attention to detail. The degree to which employees are expected to exhibit precision, analysis, and attention to detail. (3) Outcome orientation. The degree to which management focuses on results or out comes rather than on the techniques and processes used to achieve the outcomes. (4) People orientation. The degree to which management decisions take into consideration the effect of outcomes on people within the organization. (5) Team orientation. The degree to which work activities are organized around teams rather than individuals. (6) Aggressiveness. The degree to which work people are aggressive and competitive rather than easygoing.(7) Stability. The degree to which organizational activities emphasize maintaining the status quo in contrast to growth.

Masing-masing karakteristik tersebut, berlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi. Karena itu, dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya suatu organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama para anggota mengenai organisasi, bagaimana urusan diselesaikan, dan cara anggota diharapkan berperilaku

Semua karakteristik budaya organisasi sebagaimana dikemukakan di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, artinya unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa atau organisasi yang menghasilkan produk barang.

4. Tipe Budaya Organisasi

Kotter dan Heskett (1992:15-49), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.

Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992:16) menyatakan bahwa nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu 1) penyatuan tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama. 2) menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai, dan 3) memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992:22) menjelaskan pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya, sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun.

Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan. Karena itulah, Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak adaptif.

Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Kotter dan Heskett (1992:33) menjelaskan bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Makna terpenting dari hasil penelitian pada teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya. Perbedaan budaya adaptif dan tidak adaptif dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1
Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif


Budaya Adaptif

Budaya Tidak Adaptif


Nilai Inti

Kebanyakan manajer sangat peduli akan pelanggan, pemegang saham, dan pegawainya. Mereka juga sangat menghargai orang dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat (misalnya kepemimpinan ke atas dan ke bawah pada hirarki manajemen)

Kebanyakan manajer memperdulikan terutama diri mereka sendiri, kelompok kerja terdekat mereka, atau beberapa produk (teknologi) yang berhubungan dengan kelompok kerja tersebut. Mereka menilai proses manajemen yang teratur dan kurang resikonya jauh lebih tinggi daripada inisiatif kepemimpinan


Perilaku Umum

Manajer memberi perhatian yang cermat terhadap semua konstituensi mereka, khususnya pelanggan, memprakarsai perubahan bila dibutuhkan untuk melayani kepentingan mereka yang sah, bahkan walaupun menuntut pengambilan beberapa resiko.

Para manajer cenderung berperilaku agak picik, politis, dan birokratis. Akibatnya, mereka tidak cepat mengubah strategi mereka untuk menyesuaikan diri dengan atau mengambil keuntungan dari perubahan-perubahan dalam lingkungan bisnis mereka.


Sumber: Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The Free Press, New York.

Secara umum gambaran karakteristik budaya adaptif tercermin dari kualitas seperti kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggung resiko yang bijaksana, pembahasan yang jujur, fleksibel, proaktif terhadap kehidupan organisasi dan kehidupan individu, para anggota organisasi aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi, rasa percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang, bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui, kegairahan yang menyebar luas, semangat dalam mencapai keberhasilan organisasi, serta para anggota organisasi reseptif terhadap perubahan dan inovasi.

Sebagaimana halnya tipe budaya organisasi sebelumnya, tipe budaya organisasi ketigapun masih memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori budaya adaptif adalah bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi (pemimpin) untuk mengubah sesuatu ke arah yang salah.

Noe dan Mondy (1996:237) membedakan tipe budaya organisasi dalam dua kelompok, yaitu: 1) open and participative culture, dan 2) closed and autocratic culture. Open and participative culture ditandai oleh adanya kepercayaan terhadap bawahan, komunikasi yang terbuka, kepemimpinan yang suportif dan penuh perhatian, penyelesaian masalah secara kelompok, adanya otonomi pekerja, sharing informasi dan pencapaian tujuan yang outputnya tinggi. Closed and autocratic culture ditandai oleh pencapaian tujuan output yang tinggi, namun pencapaian tersebut mungkin lebih dinyatakan dan dipaksakan pada organisasi dengan para pemimpin yang otokrasi dan kuat. Semakin besar rigiditas dalam budaya ini, yang merupakan hasil kepatuhan yang ketat terhadap suatu mata rantai komando formal, semakin sempit pula rentang manajemen dan akuntabilitas individual. Selain itu, karakteristik ini lebih menekankan pada individual daripada teamwork.

Handy dalam Suryadi (2003:126) mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan tingkat formalisasi dan sentralisasi. Atas dasar konfigurasinya itu, budaya organisasi dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu: 1) formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi, 2) formalisasi rendah, sentralisasi tinggi, 3) formalisasi tinggi, sentralisasi rendah, 4) formalisasi rendah, sentralisasi rendah.

Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi. Budaya tipe ini adalah budaya birokrasi dimana semua pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, kalau perlu dengan time and motion study yang cermat. Dengan demikian porsi pekerjaan anggota organisasi sudah ditetapkan dan bersifat rutin. Formalisasi rendah, sentralisasi tinggi. Budaya seperti ini, tidak banyak terdapat peraturan atau prosedur. Kekuasaan tertinggi berada di tangan satu orang atau sebuah kelompok kecil yang memberi komando dari pusat, seperti seekor laba-laba yang berada di tengah jaringnya. Formalisasi tinggi, sentralisasi rendah. Budaya ini terdapat pada kelompok-kelompok kerja interdisipliner yang diorganisir berdasarkan suatu tugas atau proyek. Budaya seperti ini, cara kerja para anggota sangat independen tetapi mereka terikat oleh berbagai prosedur yang ketat. Formalisasi rendah, sentralisasi rendah. Budaya tipe ini sangat decentralized dan informal. Para anggota organisasi mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama tetapi masih menikmati kebebasan individu yang tinggi. Budaya organisasi ini ditandai oleh bergabungnya para ahli yang berdiri sendiri untuk bekerjasama berdasarkan kesamaan minat dan kesenangan, seperti konsultan.

Deal dan Kennedy (1982:330) mengemukakan empat jenis budaya perusahaan. (1) Macho culture. Perusahaan menganut budaya ini, anggotanya harus berani mengambil risiko yang tinggi dan akan segera menerima umpan dari manajemen mengenai tindakannya. Tampaknya budaya ini menimbulkan persaingan internal dan menganggap konflik internal sesuatu yang wajar. (2) Work hard – play hard. Budaya perusahaan ini ditandai oleh risiko rendah dan umpan balik yang cepat namun budaya ini menekankan pada “keriangan” dalam bekerja serta lebih berorientasi pada masa kini. (3) Bet – your – company. Budaya ini cenderung dianut perusahaan yang berada pada risiko tinggi namun umpan balik terhadap pekerjaan biasanya relatif sama. Perusahaan minyak merupakan salah satu contoh organisasi yang mungkin cocok dengan budaya ini. Budaya ini menghargai kewenangan, kompetensi teknis, kerja sama dan tahan stress. (4) Process culture. budaya ini tercermin pada risiko rendah dan umpan balik lambat. Nilai-nilai yang dianut adalah protektif, dan keberhati-hatian. Perusahaan asuransi banyak menganut budaya ini.

Harrison (1972) dalam Poespadibrata (1983:222) membedakan empat orientasi budaya organisasi yang terpisah dan bertentangan satu sama lain, yaitu (1) orientasi kekuasaan (power orientation), (2) orientasi peran (role orientation), (3) orientasi tugas (task orientation), dan (4) orientasi person (person orientation).

Orientasi kekuasaan. Budaya ini menekankan kepada bagaimana lingkungan eksternal dikuasai dan ditundukkan dan dicirikan oleh norma-norma: bersaing untuk menjaga wilayah kekuasaannya, berusaha memperluas kekuasaannya dengan merugikan orang lain, membeli dan menjual organisasi dan atau orang seperti barang komoditi, tidak memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan anggota, hukum rimba masih berlaku, mengejar keuntungan pribadi diantara para eksekutif organisasi.

Budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan memiliki beberapa kelemahan. Pertama, tidak adaptif terhadap lingkungan yang perubahannya sangat dinamis dan menuntut respons yang fleksibel. Hal ini antara lain disebabkan oleh keputusan yang diambil pada tingkat top manajemen harus disalurkan melalui hirarki organisasi untuk menjaring informasi yang “tidak sesuai”. Proses penyaringan informasi itu, biasanya akan memperlambat respons organisasi pada perubahan lingkungan yang sangat cepat. Dapat juga terjadi “pemutarbalikan” informasi untuk kepentingan pribadi. Kedua, biasanya hanya sejumlah kecil anggota organisasi yang agresiflah yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kariernya ke tingkat yang paling tinggi. Ketiga, tidak memberikan peluang kepada para anggota lainnya untuk mengembangkan dan memanfaatkan kontribusi internal, inisiatif atas dasar pertimbangan anggota itu sendiri. Keempat, pada saat organisasi semakin besar dan kompleks, biasanya pengendalian dari pimpinan tertinggi akan semakin sulit.

Di samping memiliki kekurangan, budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan juga memiliki beberapa kelebihan. Pertama, struktur dan proses pengambilan keputusan pada organisasi semacam ini, biasanya sangat efektif bagi pemecahan masalah yang menuntut keputusan segera dan berisiko tinggi. Dalam situasi seperti itu, biasanya pula akan muncul pemimpin-pemimpin agresif dan dapat memimpin organisasi dalam lingkungan yang penuh resiko dan persaingan tinggi. Kedua, jika permasalahan yang muncul dapat dipecahkan oleh satu atau sekelompok kecil orang di pucuk pimpinan, maka budaya yang berorientasi kekuasaan akan berjalan lancar. Ketiga, dapat berfungsi efektif bagi para anggota organisasi yang hanya sekedar ingin hidup dan mengutamakan keselamatan.

Orientasi peran. Budaya organisasi semacam ini sering disebut juga sebagai budaya birokrasi yang merupakan reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi budaya ini ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh kesepakatan atau perjanjian; adanya peraturan dan prosedur; hak dan kewajiban diberikan dan ditaati secara cermat; keterikatan yang besar pada hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada keabsahan kewenangan dan peraturan; kemantapan dan kehormatan sering dinilai setara dengan kemampuan; respons yang benar cenderung lebih dihargai dari pada respons yang efektif; prosedur untuk perubahan cenderung tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Dengan demikian, esensi budaya semacam ini didasarkan kepada keinginan untuk berpikir secara rasional dan setertib mungkin atas dasar hukum, keabsahan, kewenangan, hak, dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan. Implikasinya, tidak ada pilihan bagi anggota organisasi, khalayak atau klien ketika berhubungan dengan organisasi semacam ini. Contoh fenomena budaya semacam ini dapat dijumpai pada organisasi-organisasi perbankan, asuransi dan organisasi-organisasi non profit.

Terdapat beberapa kelemahan budaya berorientasi peran. Pertama, sebagaimana halnya budaya orientasi kekuasaan, budaya orientasi peran juga dipandang tidak fleksibel dalam mengantisipasi perubahan lingkungan. Alasannya bahwa ketertiban, keteraturan, kemantapan dan keamanan (prosedur) yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam orientasi budaya peran, lebih diandalkan sehingga secara otomatis akan melahirkan peran-peran dan struktur yang kaku dan hubungan birokratis. Akibatnya akan terbentuk stabilitas yang kaku sehingga para pemimpin yang memiliki kekuasaan pun tidak akan berdaya untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan dengan cepat. Kedua, kurang mampu beradaptasi dalam menghadapi ancaman yang mendadak dan meningkat, akibat terlalu mengandalkan prosedur operasional yang sudah mapan. Sedangkan kelebihannya adalah pertama, sangat efektif untuk organisasi yang sudah besar dan kompleks. Kedua, memudahkan pimpinan tertinggi untuk melakukan pengendalian secara efektif. Ketiga, memberikan pedoman kerja yang jelas berupa peraturan dan prosedur, yang memberikan kemungkinan terbentuknya integrasi internal tanpa intervensi aktif dari pimpinan tertinggi.

Orientasi tugas. Budaya organisasi semacam ini didasarkan kepada asumsi bahwa pencapaian tujuan yang paling tinggi (super ordinate goals) merupakan prioritas utama dan dinilai tinggi. Karena itu, struktur organisasi, fungsi dan kegiatan selalu dinilai berdasarkan signifikansinya terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya paling tinggi. Budaya semacam ini antara lain ditandai oleh tidak ada yang boleh menghalangi penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian tujuan; mekanisme organisasi (peraturan, struktur, prosedur) yang tidak efektif bagi pemecahan masalah selalu diubah untuk memenuhi kebutuhan akan tugas dan fungsi yang dijalankan; wewenang dianggap sah hanya jika didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat; tidak ada sifat kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas; fleksibilitas organisasi sangat tinggi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan; pencapaian tujuan dan kesamaan nilai-nilai yang dianut selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerjasama.

Budaya semacam ini biasanya akan cocok bila dihadapkan kepada lingkungan yang tidak hanya kompleks dan dinamis tetapi perubahannya sangat cepat. Strategi yang diterapkan biasanya dengan cara membentuk satuan-satuan tugas atau tim-tim kecil yang terdiri atas para ahli yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Satuan tugas atau tim yang dibentuk tidak bersifat permanen melainkan bergantung kepada kebutuhan. Karena itu, ketika satuan tugas sudah selesai menjalankan misinya, biasanya satuan tugas tersebut dibubarkan dan para anggotanya bergabung dengan satuan-satuan tugas yang baru untuk memecahkan masalah-masalah yang baru pula. Persoalan yang dihadapi budaya organisasi berorientasi peran biasanya terlalu mengandalkan komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua jenjang organisasi.

Kelebihan dari orientasi budaya tugas antara lain, pertama, sangat fleksibel dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang kompleks dan cepat. Kedua, menciptakan sistem pengendalian yang lentur, sehingga memudahkan peralihan dengan cepat bila sumber daya yang berbeda diperlukan atas dasar masalah-masalah eksternal. Sedangkan kelemahannya adalah pertama, mengandalkan komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua tingkatan, sehingga terkadang memerlukan waktu yang lama untuk merespon suatu perubahan. Kedua, sulit membina kohesi internal, akibat oleh sifat kesementaraan dari satuan-satuan tugas atau tim yang dibentuk. Sementara itu, kohesi internal memerlukan koordinasi kegiatan dan struktur yang berkesinambungan dan stabil.

Secara umum budaya yang berorientasi tugas ini akan mudah ditemukan pada organisasi-organisasi kecil, dimana para anggotanya terhimpun karena adanya nilai, tugas, atau tujuan bersama. Sedangkan pada organisasi besar yang berteknologi tinggi biasanya banyak ditemukan pada organisasi-organisasi industri (manufaktur).

Orientasi orang. Orientasi budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisasi dipandang atau dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang tak dapat dipenuhi jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang dengan motif dan kebutuhan akan kemandirian yang mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan pribadi biasanya akan terpenuhi dalam organisasi yang orientasi budayanya pada person. Ciri budaya organisasi yang berorientasi pada person ditandai oleh: kewenangan bila diperlukan dapat diserahkan kepada seseorang selama dinilai cakap dan ahli untuk menjalankan kewenangannya, sebagai gantinya para anggota diharapkan akan saling mempengaruhi lewat keteladanan, sikap saling menolong dan kepedulian; metode musyawarah untuk mufakat lebih disukai dalam pengambilan keputusan: secara umum, para anggota organisasi tidak diharapkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan nilai mereka sendiri; aturan diberlakukan atas dasar kesukaan pribadi dan kebutuhan untuk belajar dan berkembang; beban tugas yang tidak memberikan imbalan dan tak menyenangkan ditanggung bersama.

Organisasi yang berorientasi pada budaya semacam ini, pada kenyataannya sangat jarang. Kalaupun ada, biasanya muncul dalam bentuk biro-biro konsultan atau bantuan yang relatif kecil dan biasanya bergerak di bidang arsitektur, hukum, dan sosial. Kelebihan organisasi yang berorientasi person diantaranya: pertama, mampu beradaptasi terhadap dinamika perubahan. Mengingat, struktur pada organisasi budaya seperti ini memiliki struktur yang lentur dan jalur komunikasi serta pengendalian yang pendek. Kedua, para anggota organisasi cenderung mempunyai komitmen dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap organisasi. Sedangkan kelemahannya biasanya kesulitan dalam mengerahkan dan mengarahkan kegiatan para anggotanya secara bersama-sama untuk menghadapi resiko.

5. Fungsi Budaya Organisasi

Para ahli sepakat bahwa secara pragmatis budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat strategis bagi kehidupan organisasi. Kreitner dan Kinicki (2003:72-75) mengemukakan pentingnya budaya organisasi atas dasar empat alasan, yaitu: “(1) give members an organizational identity, (2) facilitate collective commitment, (3) promote social system stability, (4) shape behavior by helping members make sense of their surroundings.

Budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996:145), berfungsi untuk (1) memberikan sense of identity kepada para anggota organisasi untuk memahami visi, misi, serta menjadi bagian integral dari organisasi, (2) menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi, (3) memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.

Siagian (2002:199) memaparkan lima fungsi penting budaya organisasi, yaitu (1) penentu batas-batas berperilaku, (2) menumbuhkan kesadaran tentang identitas sebagai organisasi, (3) penumbuhan komitmen, (4) pemeliharaan stabilitas organisasional, dan (5) mekanisme pengawasan.

Robbins (2001:294) mengemukakan fungsi budaya dalam suatu organisasi yaitu (1) budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya; (2) budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi; (3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas dari kepentingan diri individu seseorang; (4) budaya untuk meningkatkan kemantapan sistem sosial; dan (5) budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai.

Dengan demikian dapat dikatakan, fungsi budaya organisasi adalah normatif, etis, dan ideologis yang membantu para anggota organisasi tentang bagaimana berpikir, merasakan, dan berperilaku secara benar dan tepat.

Daftar Rujukan
Davis, A., (1984). Managing Corporate Culture. Cambridge, MA : Belinger.
Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr. (1996). Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, (Alih Bahasa Nunuk Adiarni), Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.
Hofstede, G., (1991), Cultures and Organizations: Software of The Mind, McGraw-Hill Book Company, London.
Kennedy, Allan A. & Deal Terrence. E, (1982), Strong Cultures : The New “Old Rule” for Bussiness Success, Wesley Publishing Company, P: 327-335.
Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The Free Press, New York.
Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo. (2003). Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.
Luthans, Fred. (1998). Organization Behavior. International Edition, Sixth Edition, Mc Graw-Hill, Singapore.
Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, (1993). Human Resources Management. Allyn and Bacon Inc, USA.
Pace, R. Wayne & Faules, Don F. (1994). Organizational Communication. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Clifs.
Poespadibrata, Sidharta. (1993). Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya Kepemimpinan Manajer Madya dalam Konteks Budaya organisasional. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education International
Sackman, Sonja. (1991). Culture Knowledge In Organization. Newbury Park. Calif. Sage.
Schein, Edgar H. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey Bass, Pub.
Sharplin, A., (1995), Strategic Management, McGraw-Hill, New York.
Siagian, Sondang, P. (1992). Kerangka Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Stoner, James A. F. & Edward Freeman, Daniel R. Gilbert, Jr. (1996). Manajemen. Edisi Indonesia, Alih Bahasa Alexander Sindoro, PT. Prehallindo, Jakarta.
Suryadi, Edi. (2003). Pengaruh Sistem Komunikasi Organisasi terhadap Efektivitas Organisasi. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
Susanto A. B. (1997). Budaya Perusahaan: Manajemen dan Persaingan Bisnis. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Iklim Sekolah (School Climate)

Label:

Pengertian Iklim Sekolah
Litwin dan Stringer (dalam Gunbayi, 2007:1) menjelaskan iklim sekolah didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli sebagai hasil dari persepsi subjektif terhadap sistem formal, gaya informal kepala sekolah, dan faktor lingkungan penting lainnya yang memepengaruhi sikap, kepercayaan, nilai dan motivasi individu yang berada pada sekolah tersebut. Namun demikian variasi definisi iklim sekolah apabila ditelaah lebih dalam, mengerucut kepada tiga pengertian. Pertama iklim sekolah didefinisikan sebagai kepribadian suatu sekolah yang membedakan dengan sekolah lainnya. Kedua iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana di tempat kerja, mencakup berbagai norma yang kompleks, nilai, harapan, kebijakan, dan prosedur yang mempengaruhi pola perilaku individu dan kelompok. Ketiga iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap kegiatan, praktik, dan prosedur serta persepsi tentang perilaku yang dihargai, didukung dan diharapkan dalam suatu organisasi.

Pemahaman iklim sekolah sebagai kepribadian suatu sekolah merujuk pada beberapa pendapat berikut. Halpin dan Croft (dalam Tubbs dan Garner, 2008:17) menjelaskan iklim sekolah sebagai sesuatu yang intangible tetapi penting untuk sebuah organisasi dan dianalogikan dengan kepribadian seorang individu. Hoy dan Miskel (dalam Pretorius dan Villiers, 2009:33) menjelaskan iklim sekolah merujuk kepada hati dan jiwa dari sebuah sekolah, psikologis dan atribut institusi yang menjadikan sekolah memiliki kepribadian, yang relatif bertahan dan dialami oleh seluruh anggota, yang menjelaskan persepsi kolektif dari perilaku rutin, dan akan mempengaruhi sikap dan perilaku di sekolah

Menurut Hoy, Smith dan Sweetland (dalam Milner dan Khoza, 2008:158), iklim sekolah dipahami sebagai manifestasi dari kepribadian sekolah yang dapat dievaluasi dalam di sebuah kontinum dari iklim sekolah terbuka ke iklim sekolah tertutup. Iklim sekolah terbuka didasarkan pada rasa hormat, kepercayaan dan kejujuran, serta memberikan peluang kepada guru, manajemen sekolah dan peserta didik untuk terlibat secara konstruktif dan kooperatif dengan satu sama lain. Sorenson dan Goldsmith (2008:30) memandang iklim sekolah sebagai kepribadian kolektif dari sekolah. Oleh karena itu inti dari iklim sekolah adalah bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Cohen et.al. (dalam Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman personil sekolah tentang kehidupan sekolah yang mencerminkan norma-norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, praktek belajar dan mengajar, serta struktur organisasi.

Pemahaman iklim sekolah sebagai suasana di tempat merujuk pada beberapa pendapat berikut. Moos (1979:81) mendefinisikan iklim sekolah sebagai pengaturan suasana sosial atau lingkungan belajar. Moos membagi lingkungan sosial menjadi tiga kategori, yaitu 1) Hubungan, termasuk keterlibatan, berafiliasi dengan orang lain di dalam kelas, dan dukungan guru; 2) Pertumbuhan pribadi atau orientasi tujuan, meliputi pengembangan pribadi dan peningkatan diri semua anggota lingkungan; dan 3) Pemeliharaan sistem dan perubahan sistem, meliputi ketertiban dari lingkungan, kejelasan dari aturan-aturan, dan kesungguhan dari guru dalam menegakkan aturan. Wenzkaff (dalam Cherubini, 2008:40) mengemukakan iklim suatu sekolah menginformasikan mengenai atmosfir dalam kelas, ruang fakultas, kantor, dan setiap gang yang ada di sekolah. Haynes, et.al. (dalam Hoffman et.al., 2009:2) mendefinisikan iklim sekolah sebagai kualitas dan konsistensi interaksi interpersonal dalam masyarakat sekolah yang mempengaruhi kognitif, sosial, dan perkembangan psikologi anak. Styron dan Nyman (2008:2) menjelaskan iklim sekolah adalah komponen penting untuk mewujudkan sekolah menengah yang efektif. Iklim sekolah adalah lingkungan remaja yang ramah, santai, sopan, tenang, dan enerjik. Keseluruhan iklim sekolah dapat ditingkatkan oleh sikap dan perilaku positif dari para siswa dan guru. Iklim sekolah berkaitan dengan lingkungan yang produktif dan kondusif untuk belajar siswa dengan suasana yang mengutamakan kerjasama, kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, bangga, dan komitmen. Iklim sekolah juga berkaitan dengan prestasi akademik, moral fakultas, dan perilaku siswa. Iklim sekolah menengah yang optimal adalah iklim sekolah yang responsif terhadap perkembangan kebutuhan setiap siswa, merangsang pertumbuhan pribadi dan akademik.

Pemahaman iklim sekolah sebagai persepsi individu merujuk pada beberapa pendapat berikut. Stichter (2008:45) menyimpulkan iklim sekolah didefinisikan sebagai persepsi bersama tentang apa yang sedang terjadi secara akademis, secara sosial, dan lingkungan di sekolah secara rutin

Menurut Reichers dan Schneider (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) iklim secara luas menggambarkan persepsi bersama menyangkut berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Secara sempit iklim diartikan sebagai persepsi bersama mengenai kebijakan organisasi dan prosedur pelaksanaan, baik secara formal maupun informal. Kopelman, Brief dan Guzzo (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menjelaskan persepsi bersama memungkinkan individu untuk memahami ambiguitas, konflik organisasi dan ketidakpastian, memperkirakan hasil, serta menilai kesesuaian kegiatan organisasi. Oleh karena itu iklim organisasi mempunyai peran fungsional untuk membentuk dan mengarahkan perilaku individu dalam organisasi. Mcevoy (dalam Milner dan Khoza, 2008:158) menyatakan iklim sekolah mengacu pada sikap, kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari praktek pembelajaran dan operasi suatu sekolah.

Berdasarkan pendapat para ahli mengenai iklim organisasi sebagaimana dikemukakan terdahulu, dapat disimpulkan iklim sekolah adalah persepsi kolektif terhadap kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah. 

Urgensi Iklim Sekolah
Uraian mengenai urgensi iklim sekolah didasarkan pada dampak yang dapat ditimbulkannya merujuk kepada berbagai hasil penelitian. Cohen et.al. (2009) menjelaskan, selama tiga dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan penelitian yang luar biasa yang membuktikan pentingnya iklim sekolah. Penelitian membuktikan bahwa iklim sekolah yang positif berdampak langsung terhadap keberhasilan sekolah seperti siswa putus sekolah rendah, tingkat kekerasan menurun, dan prestasi siswa meningkat. Freiberg (dalam Marshall (2002:1) menegaskan iklim sekolah dapat menjadi pengaruh positif pada kesehatan lingkungan belajar atau hambatan yang signifikan untuk belajar.

Merujuk kepada berbagai hasil penelitian, Marshall (2002:2) memberikan beberapa kesimpulan mengenai pentingnya iklim sekolah bagi berbagai pihak, sebagai berikut.
Iklim sekolah dapat mempengaruhi banyak orang di sekolah. Misalnya, iklim sekolah yang positif telah dikaitkan dengan emosi dan perilaku siswa yang bermasalah.
Iklim sekolah di perkotaan berisiko tinggi menunjukkan bahwa lingkungan yang positif, mendukung, dan budaya sadar iklim sekolah signifikan dapat membentuk kesuksesan siswa perkotaan dalam memperoleh gelar akademik. Para peneliti juga menemukan bahwa iklim sekolah yang positif memberikan perlindungan bagi anak dengan lingkungan belajar yang mendukung serta mencegah perilaku antisocial.
Hubungan interpersonal yang positif dan kesempatan belajar yang optimal bagi siswa di semua lingkungan demografis dapat meningkatkan prestasi dan mengurangi perilaku maladaptive.
Iklim sekolah yang positif berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja bagi personil sekolah.
Iklim sekolah dapat memainkan peran penting dalam menyediakan suasana sekolah yang sehat dan positif.
Interaksi dari berbagai sekolah dan faktor iklim kelas dapat memberikan dukungan yang memungkinkan semua anggota komunitas sekolah untuk mengajar dan belajar dengan optimal.
Iklim sekolah, termasuk “kepercayaan, menghormati, saling mengerti kewajiban, dan perhatian untuk kesejahteraan lainnya, memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidik dan peserta didik ,’hubungan antar peserta didik, serta’ prestasi akademis dan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Iklim sekolah yang positif merupakan lingkungan yang kaya, untuk pertumbuhan pribadi dan keberhasilan akademis.
Dimensi Pengukuran Iklim Sekolah
Banyak peneliti telah mengidentifikasi berbagai dimensi untuk mengukur iklim sekolah. Salah satunya menurut Gunbayi (2007:2) adalah Halpin & Croft (1963), yang mengajukan delapan dimensi iklim organisasi. Empat di antaranya berfokus pada perilaku guru, yaitu disengagement, hindrance, esprit dan intimacy. Empat dimensi lagi fokus pada perilaku kepala sekolah, yaitu aloofness, production, thrust, dan consideration. Tahun 1968 Harvard Business mengidentifikasi enam dimensi iklim sekolah, yaitu flexibility, responsibility, standards, rewards, clarity and team commitment. Schneider pada tahun 1983 mengemukakan enam dimensi iklim organisasi, yaitu organizational support, member quality, openness, supervisory style, member conflict dan member autonomy.

Tahun 1996 Hoy, Hofman, Sabo dan Bliss (dalam Gunbayi (2007:2) menjabarkan 6 dimensi iklim sekolah, yang dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu aspek perilaku kepala, dan aspek perilaku guru. Tiga dimensi perilaku kepala sekolah yang diukur adalah supportive, directive, dan restrictive, sedangkan tiga dimensi perilaku guru yang diukur adalah collegial, committed, dan disengaged.

Supportive, adalah perilaku kepala sekolah yang diarahkan kepada kebutuhan sosial dan prestasi kerja. Kepala sekolah suka menolong, benar-benar memperhatikan guru, dan berupaya untuk memotivasi dengan menggunakan kritik yang konstruktif dan dengan memberikan contoh melalui kerja keras. Directive, adalah perilaku kepala sekolah yang kaku. Kepala sekolah terus-menerus memantau hampir semua aspek perilaku guru di sekolah. Restrictive, adalah perilaku kepala sekolah yang membatasi pekerjaan guru daripada memfasilitasinya. Kepala sekolah membebani guru dengan pekerjaan administratif, dan permintaan lainnya yang menggangu tanggung jawab mengajar. Collegial, adalah perilaku guru yang terbuka dan mendukung interaksi antara guru secara profesional. Seperti saling menghormati dan membantu satu sama lain baik secara pribadi maupun secara profesional. Committed, adalah perilaku guru yang diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan sosial. Guru bekerja ekstra keras untuk memastikan keberhasilan siswa di sekolah. Disengaged adalah perilaku guru yang kurang fokus dan bermakna bagi kegiatan profesional.

Cohen, et.al. (dalam Pinkus, 2009:14), menjabarkan pengukuran iklim sekolah ke dalam 10 dimensi, yang dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 1) safety, 2) teaching and learning, 3) interpersonal relationships, dan 4) institutional environment.

Kategori pertama terdiri atas a) rules and norms, meliputi adanya aturan yang dikomunikasikan dengan jelas dan dilaksanakan secara konsisten; b) physical safety meliputi perasaan siswa dan orang tua yang merasa aman dari kerugian fisik di sekolah; dan c) social and emotional security meliputi perasaan siswa yang merasa aman dari cemoohan, sindiran, dan pengecualian.

Kategori kedua terdiri atas a) support for learning, menunjukkan adanya dukungan terhadap praktek-praktek pengajaran, seperti tanggapan yang positif dan konstruktif, dorongan untuk mengambil risiko, tantangan akademik, perhatian individual, dan kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai cara; dan b) social and civic learning, menunjukkan adanya dukungan untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan sosial dan kemasyarakatan, termasuk mendengarkan secara efektif, pemecahan masalah, refleksi dan tanggung jawab, serta pembuatan keputusan yang etis.

Kategori ketiga terdiri atas: a) respect for diversity, menunjukkan adanya sikap saling menghargai terhadap perbedaan individu pada semua tingkatan, yaitu antara siswa dengan siswa, orang tua dengan siswa, dan orang tua dengan orang tua; b) social support adults, menunjukkan adanya kerjasama dan hubungan yang saling mempercayai antara orang tua dengan orang tua untuk mendukung siswa dalam kaitannya dengan harapan tinggi untuk sukses, keinginan untuk mendengar, dan kepedulian pribadi; dan c) social support students menunjukkan adanya jaringan hubungan untuk mendukung kegiatan akademik dan pribadi siswa.

Kategori keempat, terdiri atas a) school connectedness/engagement, meliputi ikatan positif dengan sekolah, rasa memiliki, dan norma-norma umum untuk berpartisipasi dalam kehidupan sekolah bagi siswa dan keluarga; dan b) physical surroundings, meliputi kebersihan, ketertiban, dan daya tarik fasilitas dan sumber daya dan material yang memadai.

Pengertian Mengajar

Label:

MENGAJAR merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni (2000:74) mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar”. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi pengajaran dalam konteks belajar mengajar diarahkan untuk pengembangan aktivitas siswa dalam belajar.

Gambaran aktivitas itu tercermin dari adanya usaha yang dilakukan guru dalam kegiatan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa aktif belajar. Oleh karena itu mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan informasi yang sudah jadi dengan menuntut jawaban verbal melainkan suatu upaya integratif ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam konteks ini guru tidak hanya sebagai penyampai informasi tetapi juga bertindak sebagai director and facilitator of learning.

Nasution (1982:8) mengemukakan kegiatan mengajar diartikan sebagai segenap aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar. Dengan demikian proses dan keberhasilan belajar siswa turut ditentukan oleh peran yang dibawakan guru selama interaksi proses belajar mengajar berlangsung. Usman (1994:3) mengemukakan mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar.

Burton (dalam Usman, 1994:3) menegaskan “teaching is the guidance of learning activities”. Hamalik (2001:44-53) mengemukakan, mengajar dapat diartikan sebagai (1) menyampaikan pengetahuan kepada siswa, (2) mewariskan kebudayaan kepada generasi muda, (3) usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, (4) memberikan bimbingan belajar kepada murid, (5) kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, (6) suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari. Tardif (dalam Adrian, 2004) mendefinisikan, mengajar adalah any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar.

Biggs (dalam Adrian, 2004) seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu (1) Pengertian Kuantitatif. Mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar. (2) Pengertian institusional. Mengajar berarti the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya. (3) Pengertian kualitatif. Mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Burton (dalam Sagala, 2003:61) mengemukakan mengajar adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Berdasarkan definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar adalah aktivitas kompleks yang dilakukan guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa, sehingga terjadi proses belajar. Aktivitas kompleks yang dimaksud antara lain adalah (1) mengatur kegiatan belajar siswa, (2) memanfaatkan lingkungan, baik ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, dan (3) memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa.

Daftar Rujukan
  • Adrian. (2004). Metode Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa. [Online] Tersedia: http://www. artikel.us_art05-65.html [18 Maret 2006]
  • Hamalik, Oemar. (2001). Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
  • Nasution, S. (1982). Azas-azas Kurikulum. Bandung: Jemars.
  • Sagala, Syaiful. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.
  • Usman, Moh. Uzer. (1994). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  • Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.