English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Pengertian Budaya Organisasi

Label:

1. Perspektif Budaya Organisasi

DEWASA ini istilah budaya tidak hanya jadi trend dan mempesonakan, tetapi juga dipandang membantu kebanyakan orang dalam membuat perbandingan antara aspek-aspek simbolik suatu budaya dan aspek-aspek simbolik sebuah organisasi. Menurut Suryadi (2003:109) munculnya perhatian yang tinggi terhadap konsep budaya organisasi (organizational culture) tampaknya dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa para ahli terhadap teori-teori rasional (objektif) dalam meramalkan perilaku. Teori-teori tersebut dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi tetapi tidak menyinggung jiwa organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap teori-teori rasional tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep budaya. Namun demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi objectivistic, positivistic, dan functionalistic dalam teori organisasi dan manajemen. Kehadirannya semata-mata sebagai pelengkap (salah satu variabel) dalam rangka memprediksi dan pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada selama ini.

Pace dan Faules, (1994:91) menjelaskan, dalam diskursus teori-teori ilmu sosial, fenomena budaya dapat ditelaah dalam perspektif objektif maupun subjektif. Asumsi sederhananya adalah bahwa manusia mengalami keberadaan objek-objek yang bersifat fisik yang membentuk realitas, namun diyakini juga bahwa manusia menciptakan pengalaman yang dimilikinya bersama orang lain dan objek-objek. Jika ditelaah dalam perspektif objektif, kebudayaan sebagai realitas sosial dipandang sebagai suatu komponen dari sistem sosial, dimana kedua-duanya terintegrasi ke dalam suatu sistem “sosio-budaya” . Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang bersifat fisik dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna, lambang dan nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan peristiwa dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang disamping yang bersifat instrumental.

Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Alvesson dan Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan dalam studi dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks penelitian pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan menjadi penting. Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana budaya organisasi didefinisikan.

Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang budaya organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3) perspektif kognitif. Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel penekanannya pada pengekpresian budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi budaya adalah konstruksi bersama mengenai realitas sosial.

Menurut Suryadi (2003:112), ada tiga implikasi penting yang dapat ditangkap dari pendekatan budaya terhadap teori-teori organisasi dan manajemen. Pertama, munculnya paradigma baru dalam memandang fungsi-fungsi manajemen, khususnya yang berkaitan dengan fungsi kepemimpinan (manajer). Dimana, kepemimpinan harus dipahami sebagai orang yang mendefinisikan makna dan menciptakan pandangan tentang realitas organisasi melalui pengikutsertaan anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut pada kegiatan organisasi. Karena itu, seyogianya pemimpin yang baik itu tidak hanya menciptakan profit bagi organisasi, tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota organisasi. Sayang sekali para manajer sering lupa untuk menggandengkan kedua-duanya dalam porsi yang seimbang. Kedua, berkaitan dengan pertanyaan heuristik mengenai apa yang dapat dipelajari tentang organisasi melalui pendekatan budaya yang luput dari perhatian teori-teori tradisional (objektif) tentang organisasi dan manajemen. Ketiga berkaitan dengan pertanyaan pragmatis tentang fungsi budaya yang diperkirakan dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan organisasi. Karena itu, sejauhmana nilai guna dan sumbangan pendekatan budaya dalam memahami kehidupan organisasi masih perlu diuji secara empirik. Kenyataannya di Indonesia pada umumnya menunjukkan bahwa berbagai perubahan untuk menciptakan strategi bisnis baru sesuai dengan tuntutan perubahan, apabila sudah menyentuh dimensi sistem nilai, asumsi dasar, kepercayaan, dan konsepsi, seringkali sistem nilai, asumsi, kepercayaan, dan konsepsi lama masih dominan.

2. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2001:525), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Deal dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (2001:479) menjelaskan budaya organisasi sebagai nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.

Gibson et.al. (1996:77) merumuskan: “kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku”. Kreitner dan Kinicki (2003:68-75) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota. Luthans (1998:213) mengemukakan, budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sharplin (1995:225) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Stoner et.al (1996:246) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Davis (1984:198) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Schein (1992:221) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut. Menurut Noe dan Mondy (1993:235), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun konsep budaya organisasi memunculkan perspektif yang beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli budaya dalam hal mendefinisikan budaya organisasi. Intinya bahwa budaya organisasi berkaitan dengan sistem makna bersama yang diyakini oleh anggota organisasi (refers to a system of shared meaning held by members).

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik. Susanto (1997:17) mengemukakan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu (1) Inisiatif individu. Yaitu seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan dan independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil keputusan. (2) Toleransi terhadap resiko. Menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif dan mau menghadapi resiko dalam pekerjaannya. (3) Pengarahan. Berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam menentukan objek dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan waktu. (4) Integrasi, yaitu seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan koordinasi yang baik. (5) Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya. (6) Pengawasan, meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan. (7) Identitas, menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh dan seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi. (8) Sistem penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian “reward” (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan yang telah ditentukan. (9) Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauhmana usaha untuk mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi. (10) Pola komunikasi, yang terbatas pada hierarki formal dari setiap perusahaan.

Luthans (1998:223) mengidentifikasi ada enam karakteristik penting. Pertama, observed behavioral regularities, yaitu apabila para partisipan organisasi saling berinteraksi satu dengan yang lain, maka mereka akan menggunakan bahasa, terminologi dan ritual-ritual yang sama yang berhubungan dengan rasa hormat dan cara bertindak. Kedua, norms, yaitu standar-standar perilaku yang ada, mencakup pedoman tentang berapa banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan dan perbuatan-perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ketiga, dominant values, yaitu ada sejumlah values utama yang organisasi anjurkan dan mengharapkan kepada para anggota organisasi untuk menyumbangkannya, misalnya kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Keempat, philosophy, yaitu ada sejumlah kebijakan yang menyatakan keyakinan organisasi tentang bagaimana para karyawan dan atau para pelanggan diperlakukan. Kelima, rules, yaitu ada sejumlah pedoman yang pasti yang berhubungan dengan kemajuan atau cara berhubungan dengan kemajuan atau cara berhubungan yang baik dalam organisasi. Para karyawan baru (newcomers) harus mempelajari “ikatan” atau rules yang telah ada sehingga mereka dapat diterima sebagai full-fled get anggota kelompok. Keenam, organizational climate, yaitu ada suatu “feeling” yang menyeluruh yang dibawa oleh physical layout, cara para anggota organisasi berinteraksi, dan cara para anggota organisasi memperlakukan dirinya menghadapi pihak pelanggan dan pihak luar lainnya. Menurut Luthans, keenam karakteristik tersebut tidak dimaksudkan menjadi all-inclusive.

Hofstede (1991:143) menyatakan bahwa budaya organisasi secara mendasar memiliki sifat-sifat berikut: (1) holistic (menyeluruh dan menjangkau dimensi waktu yang panjang), (2) historically determined (ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan), (3) berhubungan dengan sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, (4) dihasilkan dan dipertahankan oleh kelompok-kelompok yang bersama-sama membentuk organisasi (socially constructed), (5) halus (soft) dan (6) sukar berubah.

Riset paling mutakhir dari Robbins (2001:510-511) mengemukakan ada tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi apapun bentuk organisasinya. Ketujuh karakteristik tersebut, yaitu :

(1) Innovation and risk taking. The degree to which employees are encouraged to be innovative and take risk. (2) Attention to detail. The degree to which employees are expected to exhibit precision, analysis, and attention to detail. (3) Outcome orientation. The degree to which management focuses on results or out comes rather than on the techniques and processes used to achieve the outcomes. (4) People orientation. The degree to which management decisions take into consideration the effect of outcomes on people within the organization. (5) Team orientation. The degree to which work activities are organized around teams rather than individuals. (6) Aggressiveness. The degree to which work people are aggressive and competitive rather than easygoing.(7) Stability. The degree to which organizational activities emphasize maintaining the status quo in contrast to growth.

Masing-masing karakteristik tersebut, berlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi. Karena itu, dengan menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik tersebut, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya suatu organisasi. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama para anggota mengenai organisasi, bagaimana urusan diselesaikan, dan cara anggota diharapkan berperilaku

Semua karakteristik budaya organisasi sebagaimana dikemukakan di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, artinya unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa atau organisasi yang menghasilkan produk barang.

4. Tipe Budaya Organisasi

Kotter dan Heskett (1992:15-49), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.

Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992:16) menyatakan bahwa nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu 1) penyatuan tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama. 2) menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai, dan 3) memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992:22) menjelaskan pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya, sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun.

Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan. Karena itulah, Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak adaptif.

Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Kotter dan Heskett (1992:33) menjelaskan bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Makna terpenting dari hasil penelitian pada teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya. Perbedaan budaya adaptif dan tidak adaptif dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1
Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif


Budaya Adaptif

Budaya Tidak Adaptif


Nilai Inti

Kebanyakan manajer sangat peduli akan pelanggan, pemegang saham, dan pegawainya. Mereka juga sangat menghargai orang dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat (misalnya kepemimpinan ke atas dan ke bawah pada hirarki manajemen)

Kebanyakan manajer memperdulikan terutama diri mereka sendiri, kelompok kerja terdekat mereka, atau beberapa produk (teknologi) yang berhubungan dengan kelompok kerja tersebut. Mereka menilai proses manajemen yang teratur dan kurang resikonya jauh lebih tinggi daripada inisiatif kepemimpinan


Perilaku Umum

Manajer memberi perhatian yang cermat terhadap semua konstituensi mereka, khususnya pelanggan, memprakarsai perubahan bila dibutuhkan untuk melayani kepentingan mereka yang sah, bahkan walaupun menuntut pengambilan beberapa resiko.

Para manajer cenderung berperilaku agak picik, politis, dan birokratis. Akibatnya, mereka tidak cepat mengubah strategi mereka untuk menyesuaikan diri dengan atau mengambil keuntungan dari perubahan-perubahan dalam lingkungan bisnis mereka.


Sumber: Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The Free Press, New York.

Secara umum gambaran karakteristik budaya adaptif tercermin dari kualitas seperti kepemimpinan, kewiraswastaan, penanggung resiko yang bijaksana, pembahasan yang jujur, fleksibel, proaktif terhadap kehidupan organisasi dan kehidupan individu, para anggota organisasi aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan masalah yang dapat berfungsi, rasa percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama, tanpa rasa bimbang, bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui, kegairahan yang menyebar luas, semangat dalam mencapai keberhasilan organisasi, serta para anggota organisasi reseptif terhadap perubahan dan inovasi.

Sebagaimana halnya tipe budaya organisasi sebelumnya, tipe budaya organisasi ketigapun masih memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari teori budaya adaptif adalah bahwa perubahan budaya dapat mendorong anggota organisasi (pemimpin) untuk mengubah sesuatu ke arah yang salah.

Noe dan Mondy (1996:237) membedakan tipe budaya organisasi dalam dua kelompok, yaitu: 1) open and participative culture, dan 2) closed and autocratic culture. Open and participative culture ditandai oleh adanya kepercayaan terhadap bawahan, komunikasi yang terbuka, kepemimpinan yang suportif dan penuh perhatian, penyelesaian masalah secara kelompok, adanya otonomi pekerja, sharing informasi dan pencapaian tujuan yang outputnya tinggi. Closed and autocratic culture ditandai oleh pencapaian tujuan output yang tinggi, namun pencapaian tersebut mungkin lebih dinyatakan dan dipaksakan pada organisasi dengan para pemimpin yang otokrasi dan kuat. Semakin besar rigiditas dalam budaya ini, yang merupakan hasil kepatuhan yang ketat terhadap suatu mata rantai komando formal, semakin sempit pula rentang manajemen dan akuntabilitas individual. Selain itu, karakteristik ini lebih menekankan pada individual daripada teamwork.

Handy dalam Suryadi (2003:126) mengembangkan tipe budaya organisasi berdasarkan tingkat formalisasi dan sentralisasi. Atas dasar konfigurasinya itu, budaya organisasi dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu: 1) formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi, 2) formalisasi rendah, sentralisasi tinggi, 3) formalisasi tinggi, sentralisasi rendah, 4) formalisasi rendah, sentralisasi rendah.

Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi. Budaya tipe ini adalah budaya birokrasi dimana semua pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai macam prosedur, kalau perlu dengan time and motion study yang cermat. Dengan demikian porsi pekerjaan anggota organisasi sudah ditetapkan dan bersifat rutin. Formalisasi rendah, sentralisasi tinggi. Budaya seperti ini, tidak banyak terdapat peraturan atau prosedur. Kekuasaan tertinggi berada di tangan satu orang atau sebuah kelompok kecil yang memberi komando dari pusat, seperti seekor laba-laba yang berada di tengah jaringnya. Formalisasi tinggi, sentralisasi rendah. Budaya ini terdapat pada kelompok-kelompok kerja interdisipliner yang diorganisir berdasarkan suatu tugas atau proyek. Budaya seperti ini, cara kerja para anggota sangat independen tetapi mereka terikat oleh berbagai prosedur yang ketat. Formalisasi rendah, sentralisasi rendah. Budaya tipe ini sangat decentralized dan informal. Para anggota organisasi mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama tetapi masih menikmati kebebasan individu yang tinggi. Budaya organisasi ini ditandai oleh bergabungnya para ahli yang berdiri sendiri untuk bekerjasama berdasarkan kesamaan minat dan kesenangan, seperti konsultan.

Deal dan Kennedy (1982:330) mengemukakan empat jenis budaya perusahaan. (1) Macho culture. Perusahaan menganut budaya ini, anggotanya harus berani mengambil risiko yang tinggi dan akan segera menerima umpan dari manajemen mengenai tindakannya. Tampaknya budaya ini menimbulkan persaingan internal dan menganggap konflik internal sesuatu yang wajar. (2) Work hard – play hard. Budaya perusahaan ini ditandai oleh risiko rendah dan umpan balik yang cepat namun budaya ini menekankan pada “keriangan” dalam bekerja serta lebih berorientasi pada masa kini. (3) Bet – your – company. Budaya ini cenderung dianut perusahaan yang berada pada risiko tinggi namun umpan balik terhadap pekerjaan biasanya relatif sama. Perusahaan minyak merupakan salah satu contoh organisasi yang mungkin cocok dengan budaya ini. Budaya ini menghargai kewenangan, kompetensi teknis, kerja sama dan tahan stress. (4) Process culture. budaya ini tercermin pada risiko rendah dan umpan balik lambat. Nilai-nilai yang dianut adalah protektif, dan keberhati-hatian. Perusahaan asuransi banyak menganut budaya ini.

Harrison (1972) dalam Poespadibrata (1983:222) membedakan empat orientasi budaya organisasi yang terpisah dan bertentangan satu sama lain, yaitu (1) orientasi kekuasaan (power orientation), (2) orientasi peran (role orientation), (3) orientasi tugas (task orientation), dan (4) orientasi person (person orientation).

Orientasi kekuasaan. Budaya ini menekankan kepada bagaimana lingkungan eksternal dikuasai dan ditundukkan dan dicirikan oleh norma-norma: bersaing untuk menjaga wilayah kekuasaannya, berusaha memperluas kekuasaannya dengan merugikan orang lain, membeli dan menjual organisasi dan atau orang seperti barang komoditi, tidak memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan anggota, hukum rimba masih berlaku, mengejar keuntungan pribadi diantara para eksekutif organisasi.

Budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan memiliki beberapa kelemahan. Pertama, tidak adaptif terhadap lingkungan yang perubahannya sangat dinamis dan menuntut respons yang fleksibel. Hal ini antara lain disebabkan oleh keputusan yang diambil pada tingkat top manajemen harus disalurkan melalui hirarki organisasi untuk menjaring informasi yang “tidak sesuai”. Proses penyaringan informasi itu, biasanya akan memperlambat respons organisasi pada perubahan lingkungan yang sangat cepat. Dapat juga terjadi “pemutarbalikan” informasi untuk kepentingan pribadi. Kedua, biasanya hanya sejumlah kecil anggota organisasi yang agresiflah yang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kariernya ke tingkat yang paling tinggi. Ketiga, tidak memberikan peluang kepada para anggota lainnya untuk mengembangkan dan memanfaatkan kontribusi internal, inisiatif atas dasar pertimbangan anggota itu sendiri. Keempat, pada saat organisasi semakin besar dan kompleks, biasanya pengendalian dari pimpinan tertinggi akan semakin sulit.

Di samping memiliki kekurangan, budaya organisasi yang berorientasi kekuasaan juga memiliki beberapa kelebihan. Pertama, struktur dan proses pengambilan keputusan pada organisasi semacam ini, biasanya sangat efektif bagi pemecahan masalah yang menuntut keputusan segera dan berisiko tinggi. Dalam situasi seperti itu, biasanya pula akan muncul pemimpin-pemimpin agresif dan dapat memimpin organisasi dalam lingkungan yang penuh resiko dan persaingan tinggi. Kedua, jika permasalahan yang muncul dapat dipecahkan oleh satu atau sekelompok kecil orang di pucuk pimpinan, maka budaya yang berorientasi kekuasaan akan berjalan lancar. Ketiga, dapat berfungsi efektif bagi para anggota organisasi yang hanya sekedar ingin hidup dan mengutamakan keselamatan.

Orientasi peran. Budaya organisasi semacam ini sering disebut juga sebagai budaya birokrasi yang merupakan reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi budaya ini ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh kesepakatan atau perjanjian; adanya peraturan dan prosedur; hak dan kewajiban diberikan dan ditaati secara cermat; keterikatan yang besar pada hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada keabsahan kewenangan dan peraturan; kemantapan dan kehormatan sering dinilai setara dengan kemampuan; respons yang benar cenderung lebih dihargai dari pada respons yang efektif; prosedur untuk perubahan cenderung tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Dengan demikian, esensi budaya semacam ini didasarkan kepada keinginan untuk berpikir secara rasional dan setertib mungkin atas dasar hukum, keabsahan, kewenangan, hak, dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan. Implikasinya, tidak ada pilihan bagi anggota organisasi, khalayak atau klien ketika berhubungan dengan organisasi semacam ini. Contoh fenomena budaya semacam ini dapat dijumpai pada organisasi-organisasi perbankan, asuransi dan organisasi-organisasi non profit.

Terdapat beberapa kelemahan budaya berorientasi peran. Pertama, sebagaimana halnya budaya orientasi kekuasaan, budaya orientasi peran juga dipandang tidak fleksibel dalam mengantisipasi perubahan lingkungan. Alasannya bahwa ketertiban, keteraturan, kemantapan dan keamanan (prosedur) yang merupakan nilai-nilai yang dianut dalam orientasi budaya peran, lebih diandalkan sehingga secara otomatis akan melahirkan peran-peran dan struktur yang kaku dan hubungan birokratis. Akibatnya akan terbentuk stabilitas yang kaku sehingga para pemimpin yang memiliki kekuasaan pun tidak akan berdaya untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan dengan cepat. Kedua, kurang mampu beradaptasi dalam menghadapi ancaman yang mendadak dan meningkat, akibat terlalu mengandalkan prosedur operasional yang sudah mapan. Sedangkan kelebihannya adalah pertama, sangat efektif untuk organisasi yang sudah besar dan kompleks. Kedua, memudahkan pimpinan tertinggi untuk melakukan pengendalian secara efektif. Ketiga, memberikan pedoman kerja yang jelas berupa peraturan dan prosedur, yang memberikan kemungkinan terbentuknya integrasi internal tanpa intervensi aktif dari pimpinan tertinggi.

Orientasi tugas. Budaya organisasi semacam ini didasarkan kepada asumsi bahwa pencapaian tujuan yang paling tinggi (super ordinate goals) merupakan prioritas utama dan dinilai tinggi. Karena itu, struktur organisasi, fungsi dan kegiatan selalu dinilai berdasarkan signifikansinya terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya paling tinggi. Budaya semacam ini antara lain ditandai oleh tidak ada yang boleh menghalangi penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian tujuan; mekanisme organisasi (peraturan, struktur, prosedur) yang tidak efektif bagi pemecahan masalah selalu diubah untuk memenuhi kebutuhan akan tugas dan fungsi yang dijalankan; wewenang dianggap sah hanya jika didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat; tidak ada sifat kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas; fleksibilitas organisasi sangat tinggi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan; pencapaian tujuan dan kesamaan nilai-nilai yang dianut selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerjasama.

Budaya semacam ini biasanya akan cocok bila dihadapkan kepada lingkungan yang tidak hanya kompleks dan dinamis tetapi perubahannya sangat cepat. Strategi yang diterapkan biasanya dengan cara membentuk satuan-satuan tugas atau tim-tim kecil yang terdiri atas para ahli yang kompeten dalam bidangnya masing-masing. Satuan tugas atau tim yang dibentuk tidak bersifat permanen melainkan bergantung kepada kebutuhan. Karena itu, ketika satuan tugas sudah selesai menjalankan misinya, biasanya satuan tugas tersebut dibubarkan dan para anggotanya bergabung dengan satuan-satuan tugas yang baru untuk memecahkan masalah-masalah yang baru pula. Persoalan yang dihadapi budaya organisasi berorientasi peran biasanya terlalu mengandalkan komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua jenjang organisasi.

Kelebihan dari orientasi budaya tugas antara lain, pertama, sangat fleksibel dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang kompleks dan cepat. Kedua, menciptakan sistem pengendalian yang lentur, sehingga memudahkan peralihan dengan cepat bila sumber daya yang berbeda diperlukan atas dasar masalah-masalah eksternal. Sedangkan kelemahannya adalah pertama, mengandalkan komitmen penuh dari para anggota organisasi di semua tingkatan, sehingga terkadang memerlukan waktu yang lama untuk merespon suatu perubahan. Kedua, sulit membina kohesi internal, akibat oleh sifat kesementaraan dari satuan-satuan tugas atau tim yang dibentuk. Sementara itu, kohesi internal memerlukan koordinasi kegiatan dan struktur yang berkesinambungan dan stabil.

Secara umum budaya yang berorientasi tugas ini akan mudah ditemukan pada organisasi-organisasi kecil, dimana para anggotanya terhimpun karena adanya nilai, tugas, atau tujuan bersama. Sedangkan pada organisasi besar yang berteknologi tinggi biasanya banyak ditemukan pada organisasi-organisasi industri (manufaktur).

Orientasi orang. Orientasi budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisasi dipandang atau dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang tak dapat dipenuhi jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang dengan motif dan kebutuhan akan kemandirian yang mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan pribadi biasanya akan terpenuhi dalam organisasi yang orientasi budayanya pada person. Ciri budaya organisasi yang berorientasi pada person ditandai oleh: kewenangan bila diperlukan dapat diserahkan kepada seseorang selama dinilai cakap dan ahli untuk menjalankan kewenangannya, sebagai gantinya para anggota diharapkan akan saling mempengaruhi lewat keteladanan, sikap saling menolong dan kepedulian; metode musyawarah untuk mufakat lebih disukai dalam pengambilan keputusan: secara umum, para anggota organisasi tidak diharapkan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan nilai mereka sendiri; aturan diberlakukan atas dasar kesukaan pribadi dan kebutuhan untuk belajar dan berkembang; beban tugas yang tidak memberikan imbalan dan tak menyenangkan ditanggung bersama.

Organisasi yang berorientasi pada budaya semacam ini, pada kenyataannya sangat jarang. Kalaupun ada, biasanya muncul dalam bentuk biro-biro konsultan atau bantuan yang relatif kecil dan biasanya bergerak di bidang arsitektur, hukum, dan sosial. Kelebihan organisasi yang berorientasi person diantaranya: pertama, mampu beradaptasi terhadap dinamika perubahan. Mengingat, struktur pada organisasi budaya seperti ini memiliki struktur yang lentur dan jalur komunikasi serta pengendalian yang pendek. Kedua, para anggota organisasi cenderung mempunyai komitmen dan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap organisasi. Sedangkan kelemahannya biasanya kesulitan dalam mengerahkan dan mengarahkan kegiatan para anggotanya secara bersama-sama untuk menghadapi resiko.

5. Fungsi Budaya Organisasi

Para ahli sepakat bahwa secara pragmatis budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat strategis bagi kehidupan organisasi. Kreitner dan Kinicki (2003:72-75) mengemukakan pentingnya budaya organisasi atas dasar empat alasan, yaitu: “(1) give members an organizational identity, (2) facilitate collective commitment, (3) promote social system stability, (4) shape behavior by helping members make sense of their surroundings.

Budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996:145), berfungsi untuk (1) memberikan sense of identity kepada para anggota organisasi untuk memahami visi, misi, serta menjadi bagian integral dari organisasi, (2) menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi, (3) memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.

Siagian (2002:199) memaparkan lima fungsi penting budaya organisasi, yaitu (1) penentu batas-batas berperilaku, (2) menumbuhkan kesadaran tentang identitas sebagai organisasi, (3) penumbuhan komitmen, (4) pemeliharaan stabilitas organisasional, dan (5) mekanisme pengawasan.

Robbins (2001:294) mengemukakan fungsi budaya dalam suatu organisasi yaitu (1) budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya; (2) budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi; (3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas dari kepentingan diri individu seseorang; (4) budaya untuk meningkatkan kemantapan sistem sosial; dan (5) budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para pegawai.

Dengan demikian dapat dikatakan, fungsi budaya organisasi adalah normatif, etis, dan ideologis yang membantu para anggota organisasi tentang bagaimana berpikir, merasakan, dan berperilaku secara benar dan tepat.

Daftar Rujukan
Davis, A., (1984). Managing Corporate Culture. Cambridge, MA : Belinger.
Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr. (1996). Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, (Alih Bahasa Nunuk Adiarni), Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta.
Hofstede, G., (1991), Cultures and Organizations: Software of The Mind, McGraw-Hill Book Company, London.
Kennedy, Allan A. & Deal Terrence. E, (1982), Strong Cultures : The New “Old Rule” for Bussiness Success, Wesley Publishing Company, P: 327-335.
Kotter, John P., James L. Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The Free Press, New York.
Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo. (2003). Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.
Luthans, Fred. (1998). Organization Behavior. International Edition, Sixth Edition, Mc Graw-Hill, Singapore.
Mondy, R. Wayne, Robert M. Noe, (1993). Human Resources Management. Allyn and Bacon Inc, USA.
Pace, R. Wayne & Faules, Don F. (1994). Organizational Communication. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Clifs.
Poespadibrata, Sidharta. (1993). Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya Kepemimpinan Manajer Madya dalam Konteks Budaya organisasional. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education International
Sackman, Sonja. (1991). Culture Knowledge In Organization. Newbury Park. Calif. Sage.
Schein, Edgar H. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey Bass, Pub.
Sharplin, A., (1995), Strategic Management, McGraw-Hill, New York.
Siagian, Sondang, P. (1992). Kerangka Dasar Ilmu Administrasi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Stoner, James A. F. & Edward Freeman, Daniel R. Gilbert, Jr. (1996). Manajemen. Edisi Indonesia, Alih Bahasa Alexander Sindoro, PT. Prehallindo, Jakarta.
Suryadi, Edi. (2003). Pengaruh Sistem Komunikasi Organisasi terhadap Efektivitas Organisasi. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
Susanto A. B. (1997). Budaya Perusahaan: Manajemen dan Persaingan Bisnis. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Comments (0)

Posting Komentar